A.
Haid
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu
yang mengalir. Sedangkan menurut istilah syara’ haid yaitu darah yang terjadi
pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab atau penyakit, dan keluar
pada waktu tertentu (memiliki siklus) (Shobur,
2009: 4). Jadi, haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu
penyakit, luka, keguguran atau kelahiran.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa haid
tidak akan terjadi sebelum anak perempuan memasuki usia 9 tahun. Bila keluar
darah sebelum berumur 9 tahun, maka itu dianggap darah penyakit, bukan darah
haid. Sedikitnya masa
haid adalah tiga hari tiga malam dan pertengahannya lima hari dan
sebanyak-banyaknya sepuluh hari. Tidak disyaratkan harus keluar darah dalam
setiap saat, tetap cukup pada awalnya meskipun diselingi masa suci dan
seluruhnya dianggap haid (Al-Jamal, 1999: 28).
Menurut
para ulama, darah haid keluar paling sedikit selama satu hari satu malam. Dan
sebanyak-banyaknya 15 hari 15 malam, dan yang sedang adalah 5 hari 5 malam
atau satu minggu. Bila seorang perempuan mengeluarkan darah dari farjinya lebih
dari 15 hari disebut darah istihadhoh (darah penyakit). Jadi batas waktu haid paling lama yaitu 15
hari dan paling sedikit satu hari satu malam. Jika melebihi 15 hari maka bukan
disebut darah haid, melainkan itu darah istihadhoh (darah penyakit) dan wajib
hukumnya bagi wanita untuk menjalankan ibadah shalat maupun puasa. Karena batas
waktu haid hanya sampai 15 hari 15 malam. Larangan-larangan
bagi orang yang haid, yaitu:
a.
Shalat, baik
sholat wajib maupun shalat
sunnah.
b.
Puasa, baik
puasa wajib maupun puasa sunnah.
Bagi perempuan yang
haid wajib untuk mengqadha atau
mengganti puasa wajibnya setelah haid.
c.
Berdiam di
masjid.
d.
Menyentuh atau
membaca al-Qur’an.
e.
Tawaf atau
keliling Ka’bah.
f.
Bercerai atau
talak.
Mandi Wajib setelah
Haid
Perkataan
mandi wajib menurut bahasa Arab disebut “Al-guslu” yang berarti membasuh badan
atau mandi. Pengertian mandi wajib menurut istilah syara’ ialah meratakan air
pada seluruh badan dari ujung rambut sampai ujung jari-jari kaki disertai
dengan niat dalam hati sesuai dengan keperluannya, mungkin untuk menghilangkan
hadas besar ataupun berniat untuk mandi sunnah (Ardani, 2008: 54). Mandi atau
bersuci setelah haid wajib hukumnya, agar dapat melaksanakan ibadah-ibadah yang
wajib maupun yang sunnah setelah haid (Tim Bina Karya Guru 6, 2009: 5)
1.
Rukun Mandi
Wajib
Rukun mandi wajib artinya segala ketentuan syariat yang
harus dilakukan ketika hendak mandi wajib, yaitu:
a.
Niat
b.
Menghilangkan
najis yang ada pada badan
c.
Meratakan air
ke seluruh anggota badan (mulai dari ujung rambut sampai ke ujung jari-jari
kaki)
2.
Sunah Mandi
Untuk
kesempurnaan pelaksanaan mandi, selain melakukan kewajiban dari ketiga rukun,
hendaknya disunnahkan mengerjakan hal-hal berikut:
a.
Membaca
basmalah
b.
Membasuh tangan
sebelum memulai mandi
c.
Berwudhu dengan
sempurna sebelum melakukan mandi
d.
Menggosok
seluruh tubuh yang terjamah oleh tangan, seraya memperhatikan agar air
benar-benar mencapai semua bagian tubuh yang tersembunyi, seperti ketiak, daun
telinga, lipatan-lipatan pada perut, pusar, dan lain-lain
e.
Membasuh suatu
anggota tubuh sebelum kering anggota tubuh lainnya
f.
Mendahulukan
membasuh bagian kanan dari anggota tubuh
g.
Membasuh dan
menggosok badan sebanyak 3 kali
h.
Khusus bagi
wanita, setelah selesai mandi wajib disunnahkan memakai wangi-wangian, terutama
pada bagian kemaluannya
3.
Syarat mandi
wajib
Berikut
syarat mandi wajib diantaranya:
a.
Islam
b.
Tamyiz
c.
Menggunakan air
mutlak
d.
Tidak ada yang
menghalangi sampainya air pada anggota badan
e.
Tidak dalam
keadaan haid atau nifas
4.
Hikmah Mandi
Dari Q. S Al-Maidah ayat 6, yang artinya: Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagi-Mu, supaya bersyukur. Dari
ayat tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa mandi mempunyai beberapa hikmah
(Munawaroh, 2011: 63), antara lain:
a.
Secara umum
dapat membersihkan diri seseorang yang menyempurnakan nikmat Allah agar menjadi
hamba yang pandai bersyukur
b.
Dapat
memulihkan kekuatan dan kesegaran serta membersihkan kotoran
c.
Dapat
menetralisasi pengaruh kejiwaan sehingga kembali kepada fitrah yang suci.
B.
Khitan
Secara bahasa, khitan berarti memotong
kuluf (kulit) yang menutupi kepala kemaluan laki-laki agar terhindar dari
bekumpulnya kotoran di bawah kuluf dan memudahkan pembersihannya setelah buang
air kecil. Menurut istilah syara’, khitan adalah memotong kuluf dan yang
menutupi hasyafah (kepala kemaluan) anak laki-laki agar hasyafah kelihatan (Al
Habsy, 1999 : 65).
Semua ulama fikih sepakat bahwa khitan
adalah wajib hukumnya bagi laki-laki sedang bagi anak perempuan tidak wajib
hanya terpuji saja. Belum pernah Rasulullah SAW memerintahkan seseorang
mengkhitankan anak perempuan. Sebagian ulama besar mewajibkannya atas setiap
laki-laki mulim sebaiknya sebelum usia baligh, ketika kewajiban shalat mulai
berlaku atas seseorang (Al Habsy, 1999: 65).
Rasulullah SAW meletakkan khitan
sebagai puncak perilaku fitrah, artinya bahwa khitan itu untuk mensucikan
badan.Anak laki-laki yang belum khitan, dalam alat kelaminnya (zakarnya) masih
mengandung najis, sehingga jika mereka tidak dikhitan sampai dewasa belum
memenuhi syarat sah shalat.
Jadi, wajib hukumnya bagi laki-laki untuk melakukan
khitan, karena jika kulit yang menutupi kepala kemaluan zakar laki-laki itu tidak dipotong, maka akan menjadi
tempat kotoran yang mengakibatkannya tidak suci. Bila tidak suci maka sholatnya
(ibadahnya) tidak sah.
1.
Manfaat Khitan
Khitan memiliki banyak hikmah, baik dipandang secara agama
Islam maupun secara medis, antara lain (Tim Bina Karya 6, 2009: 15) :
a.
Khitan banyak
melindungi dan mencegah dari berbagai penyakit yang bersarang dibalik kulit
zakar laki-laki, seperti kanker
b.
Melatih anak
dari menjaga kebersihan dan suci dari najis
c.
Menghilangkan
beban psikologis (rasa malu), karena anak yang tidak dikhitan akan merasa
minder bergaul dengan teman-teman yang sudah dikhitan
d.
Memudahkan
menghilangkan najis yang menempel di zakarnya
e.
Salah satu
sarana bagi kesempurnaan agama
C.
Qurban
Qurban menurut bahasa berasal dari kata
bahasa Arab : “ Qaraba”, “Yaqrabu”, Qurban wa qurbanan wa qirbanan” yang artinya dekat. Menurut istilah, qurban berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan mengerjakan sebagian
perintah-Nya. Qurban dalam pengertian kita sehari-hari sebenarnya diambil dari
kata udhhiyah yakni bentuk jama’ dari kata ”dhahiyyah” yaitu
sembelihan pada waktu dhuha tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Dari
sinilah muncul istilah ”Idul Adha”.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan Qurban atau udhhiyah adalah
penyembelihan hewan dengan tujuan beribadah (taqarrub) kepada Allah pada hari
raya Idul Adha dan tiga hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 dan 13
Dzulhijjah.
Qurban memiliki ketentuan diantaranya:
1.
Larangan memotong rambut dan kuku.
Bagi yang hendak berqurban, tidak diperbolehkan memotong
rambut dan kukunya setelah masuk tanggal 1 dzulhijjah hingga shalat ied.
Dalilnya:
"Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong) rambut dan kukunya." (hr. Muslim no. 1977). Ibnu qudamah berkata: "Siapa yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada allah dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa (al-mughni11/96)."
"Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong) rambut dan kukunya." (hr. Muslim no. 1977). Ibnu qudamah berkata: "Siapa yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada allah dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa (al-mughni11/96)."
2. Boleh berserikat.
Satu ekor unta atau sapi untuk tujuh
orang. Sedangkan kambing hanya untuk satu orang.
3.
Distribusi qurban.
Lihat
surat al-hajj ayat 36. Dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah SAW membagi
daging kurban menjadi tiga, sepertiga untuk keluarganya, sepertiga untuk fakir
miskin dan tetangga serta sepertiga untuk orang meminta-minta“. Dalam riwayat
lain Rasulullah SAW bersabda: "Makanlah sebagian, simpanlah sebagian dan
bersedekahlah dengan sebagian“.
Para ulama sepakat bahwa binatang qurban adalah
binatang ternak yang terdiri dari lembu, kerbau, unta, dan kambing atau domba
sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj Ayat 34, yang berbunyi:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا
مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ
الْأَنْعَامِ
“Dan bagi tiap-tiap
umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama
Allah terhadap bahimatul an’am (binatang ternak) yang telah direzkikan
Allah kepada mereka” (QS. Al Hajj: 34).
Hewan yang dijadikan qurban harus memenuhi beberapa
syarat, (Nurzaman, 2009: 66-67) yaitu:
a. Binatang itu
dalam keadaan sehat, tidak sakit, tidak cacat seperti pincang atau buta, dan
binatang itu harus gemuk
b. Cukup umur
(kambing harus berumur 1 tahun lebih, lembu dan kerbau sudah 2 tahun lebih, dan
unta sudah berumur 5 tahun lebih)
Adapun cara melaksanakan ibadah qurban adalah
sebagai berikut (Tim
Bina Karya 5, 2009: 52) :
a.
Hewan yang akan
diqurbankan dibaringkan kesebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya
menghadap kiblat diiringi dengan membaca doa “robbanaa taqobbal minnaa innaka
anta sami’un ‘aliim”, yang artinya “Ya Tuhan kami terimalah kiranya qurban kami
ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
b.
Penyembelih
melettakan kakiknya yang sebelah diatas leher hewan agar hewan itu tidak
menggerak-gerakkan kepalanya
c.
Penyembelih
melakukan penyembelihan sambil membaca “Bismillahi allahu akbar”, yang artinya
dengan nama allah, allah Maha Besar
d.
Penyembelih
membaca do’a kabul (doa supaya qurban diterima oleh Allah), yaitu “Allahumma
minka wa ilaika. Allahumma taqobbal min….. (sebut nama orang yang berqurban)”
Qurban memiliki
beberapa hikmah (Tim Bina Karya 5, 2009: 53), diantaranya:
a.
Menghidupkan
sunnah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad SAW
b.
Mendidik jiwa
ke arah takwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT
c.
Mengikis sifat
tamak dan mewujudkan sifat murah hati mau membelanjakan harta di jalan Allah SWT
d.
Menghapuskan
dosa dan mengharap keridhaan Allah SWT
e.
Menjalinkan
hubungan kasih sayang sesama manusia terutama antara golongan berada dengan golongan
yang kurang bernasib baik
f.
Membersihkan
hati dan jiwa agar menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya iman dan takwa
D.
Haji dan Umrah
Makna haji menurut bahasa adalah maksud dan tujuan yang dimuliakan. Menurut
istilah syar’i adalah mengunjungi Baithul Haram untuk mengerjakan beberapa
pekerjaan khusus, seperti thawaf, sa’i, wuquf di Padang arafah, dan lain-lain
(Ayyub, 1983: 1). Umrah menurut bahasa artinya ziarah/menengok atau datang. Sedangkan
umrah menurut syara’ adalah mengunjungi Baitul Haram (Ka’bah) untuk beribadah
kepada Allah semata-mata (Nurzaman, 2008: 93).
Nabi SAW menunaikan haji satu kali pada tahun Beliau wafat, yaitu pada
tahun 10 H (Ayyub, 1983: 1). Maka dari itu umat Islam diwajibkan melaksanakan
haji satu kali seumur hidup. Adapun hukum melaksanakan ibadah haji ada dua
(Nurzaman, 2008: 78), yaitu:
a. Hukumnya wajib,
yaitu ibadah haji yang dikerjakan pertama kali, dan haji karena nazar (janji)
untuk mengerjakan ibadah haji
b.
Hukumnya
sunnah, yaitu mengerjakan haji untuk yang kedua kali dan seterusnya
Umrah hukumnya wajib
sama dengan hukum menunaikan ibadah haji. Hukum umrah ini ada kemungkinan wajib
dan ada kemungkinan sunnah.
a.
Wajib, bagi
orang yang baru pertama kali menunaikan umrah bersamaan dengan menunaikan
ibadah haji yang pertama kali. Begitu juga seseorang yang sudah menunaikan
ibadah haji bersama umrah, kemudian ia bernazar akan umrah, maka ia wajib
menunaikan umrah untuk memenuhi nazarnya.
b.
Sunnah, bagi
orang yang sudah pernah melaksanakan umrah yang pertama kali bersamaan dengan
ibadah haji.
Haji
adalah rukun Islam kelima, yang merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan bagi
yang mampu. Karena apabila seseorang sudah mampu menurut ukuran Syari’at Islam
tetapi tidak menunaikannya sampai wafat, maka ia harus mengganti hajinya dengan
cara dihajikan orang lain dengan biaya dari sebagian hartanya yang diwariskan
menurut pendapat Hasan, Thawus dan Syafi’i. Tetapi Abu Hanifah dan Malik
memandang tidak wajib, kecuali jika mayit itu berwasiat untuk dihajikan, maka
biayanya harus diambilkan dari sepertiga harta warisannya (Ayyub, 1983: 26).
Haji dilaksanakan pada bulan-bulan haji
yang telah ditentukan, seperti bulan Syawal, Dzulqa’dah dan 10 hari bulan Dzulhijjah.Ibadah
haji adalah salah satu rukun islam dan hukumnya adalah fardhu ‘ain dan
diwajibkan satu kali seumur hidup bagi orang yang mampu sebagaimana firman
Allah dalam Q.S Al-Imran:97, yaitu:
ÏmÏù7M»t#uä×M»uZÉit/ãP$s)¨BzOÏdºtö/Î)(`tBur¼ã&s#yzytb%x.$YYÏB#uä3¬!urn?tãĨ$¨Z9$#kÏmÏMøt7ø9$#Ç`tBtí$sÜtGó$#Ïmøs9Î)WxÎ6y4`tBurtxÿx.¨bÎ*sù©!$#;ÓÍ_xîÇ`tãtûüÏJn=»yèø9$#ÇÒÐÈ
Artinya: “padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu
(bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa
perbedaan haji dan umrah tidak begitu berbeda, akan tetapi kewajibannya sama
dan pelaksanaannya yang berbeda, (Nasution: 240) diantaranya yaitu:
a. Haji hanya dapat
dilakukan pada waktu dan bulan-bulan tertentu yakni pada buan haji (11,12,13
Dzulhijjah), sedangkan umrh dapat dilakukan setiap waktu sepanjang tahun.
b. Wuquf yang
merupakan salah satu rukun dalam haji, tidak dikerjakan pada pelaksanaan umrah.
Jadi, rukub umrah itu hanya ihram, thawaf, sa’i, tahallul.
Melakukan ibadah haji sekali seumur hidup bagi setiap muslim, baik
laki-laki maupun perempuan yang sudah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Nurzaman
: 2008: 80):
a.
Islam
b.
Berakal
c.
Baligh
d.
Merdeka
e.
Mampu
Jika
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka seseorang tidak dapat melaksanakan
ibadah haji.
1.
Rukun Haji
Rukun menjadi patokan
sahnya haji (Ayyub, 1983:
31). Maka itu, apabila ada salah satu rukun ada yang tidak dikerjakan, hajinya
tetap sah akan tetapi harus mengulang hajinya tahun depan. Menurut Imam Syafi’i
ada enam macam rukun dalam haji (Ayyub, 2002: 31), yaitu:
a.
Ihram,
artinya niat mengerjakan haji dengan memakai pakaian ihram. Orang yang berihram
untuk haji, sepatutnya bertalbiyah sejak mulai mengerjakan ihram sampai waktu
melontar jumratul ‘ula (jumrah aqabah) di awal batu lemparan pada hari Nahr
(Idul Adha) (Ayyub, 2002: 47).
Amalan sunnah sebelum ihram
terdiri dari(Ayyub, 2002: 32-36) :
1)
Bersih dari
segala hal, seperti memotong kuku, mencukur kumis, rambut ketiak, berwudhu atau
mandi
2)
Memakai pakaian
ihram
Pakaian
ihram laki-laki adalah dengan memakai sarung yang menutupi setengah bagian
bawah badanm dimulai dari bagian pusar, kemudian memakai selendang yang
menutupi bagian atasnya dimulai dari bahu.
Sedangkan pakaian
ihram perempuan adalah dengan memakai pakaian biasa yang sesuai dengan syari’at
Islam, membuka wajah dan telapak tangan, karena ihramnya terletak pada
keduanya.
3)
Memakai minyak
wangi dan minyak rambut
Bagi
laki-laki dan perempuan disunnahkan memakai parfum secara tidak berlebihan
sebelum ihram, namun disyaratkan bagi perempuan agar tidak berdekatan dengan
laki-laki asing yang dapat mencium baunya, karena hal itu dilarang agama.
4)
Memakai pitek
(kuku) bagi wanita
Bagi
wanita, disunnahkan memakai pitek (pada kuku) sebelum ihram karena menjadi
bagian dari hiasannya. Tetapi jika dilakukan setelah ihram, maka hukumnya
makruh, bahkan sebagian ulama mengharamkan.
5)
Mengempalkan
rambut
Bagi orang berambut panjang dan
ingin menjaga agar tidak awut-awutan, dan agar kotoran tidak terkumpul pada
rambut, maka disunnahkan mengempalkan rambut dengan getah (karet) atau
sejenisnya sebelum ihram.
6)
Shalat sunnah
dua rakaat sebelum ihram
Ketika hendak mengerjakan ihram,
seseorang dianjurkan melakukan shalat sunah dua rakaat pada waktu-waktu yang
tidak dilarang mengerjakan shalat sunnah. Setelah niat shalat sunnah ihram dua
rakaat, bacalah surat al-Fatihah diteruskan surat al-Kafirun pada rakaat
pertama, dan surat al-Ikhlas pada rakaat kedua. Rasulullah pernah melaksanakan
shalat ini pada waktu ihram di Dzulaifah. Allah telah menentukan tempat-tempat ihram (Ayyub, 1983: 37) , yaitu:
a)
Dzul-hulaifah,
yaitu miqatnya penduduk Madinah dan siapa saja yang melewati jalan ini.
b)
Dzatul-irqin,
yaitu miqatnya penduduk Irak dan siapa saja yang melewatinya.
c)
Juhfah, yaitu
miqatnya penduduk Mesir, Syam, dan Maroko, dan siapa saja yang melewati jalan
ini.
d)
Qarnul-Manazil,
yaitu miqatnya penduduk Najed dan siapa saja yang melewatinya.
e)
Yalamlam, yaitu
miqatnya penduduk Yaman dan siapa saja yang melewatinya.
b.
Wuquf di Padang
Arafah, yaitu berhenti di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah mulai waktu
zuhur sampai saat terbit fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah (A. Nurzaman, 2011:
78). Bagi orang yang hendak melaksanakan wuquf di Arafah, disunnahkan untuk
mandi dahulu, melaksanakan wuquf di tempat yang berbatu karang, menghadap
kiblat, dan membaca takbir, tahlil, talbiyah, dan shalawat kepada Nabi SAW,
serta berdoa secara bersungguh-sungguh dan khusyu (Ayyub, 2002: 130).
c.
Tawaf, yaitu
berkeliling ka’bah sebanyak 7 kali
d.
Sa’i, yaitu berjalan
dengan berlari-lari kecil antara bukit sofa dan marwa
e.
Tahallul, yaitu
mengakhiri ihram dengan menggunting rambut minimal tiga helai.
f.
Tertib
Haji menurut
tata caranya ada tiga cara yaitu:
a.
Setelah
melaksanakan tahalul dan umrah (sudah berganti dengan pakaian biasa), pada 8
dzulhijjah jama’ah berpakaian umrah lagi untuk melaksanakan ibadah haji. Ini
disebut dengan Haji Tamattu.
b.
Setelah
melaksanakan umrah tidak bertahalul (tetap dalam pakaian ihram), kemudian
langsung melaksanakan ibadah haji. Ini disebut Haji Qirad.
c.
Melaksanakan
ibadah haji saja tanpa umrah terlebih dahulu, ini disebut dengan Haji Ifrad.
(Miftah Farid, 2010: 78).
Syarat wajib dan
syarat sah umrah sama dengan syarat wajib dan syarat sah haji, yaitu wajib
umrah, ialah:
a.
Islam
b.
Baligh
c.
Berakal Sehat
d.
Merdeka
e.
Istatha’a
(mempunyai kemampuan)
Syarat
sah umrah, yaitu:
a.
Islam
b.
Baligh
c.
Berakal
d.
Merdeka
Perbedaan
rukun umrah dan rukun haji ialah bahwa rukun umrah tidak ada wuquf di Padang
Arafah dan boleh dilaksanakan pada bulan apa saja, sedangkan rukun haji harus
ada wuquf di Padang Arafah dan harus dikerjakan pada bulan-bulan Syawal,
Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.Rukun umrah terdiri dari 5 macam (A. Nurzaman, 2011:
94), yaitu:
1)
Ihram dengan
niat untuk umrah
2)
Tawaf, yaitu
mengitari Ka’bah 7 kali dengan niat tawaf umrah
3)
Sai
(berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah)
4)
Tahallul
(memotong rambut paling sedikit tiga helai)
5)
Tertib, artinya
menertibkan rukun dengan mendahulukan yang lebih dahulu
Larangan
dalam
Haji dan Umrah
a.
Khusus jama’ah
pria : Berpakaian
dengan pakaian yang berjahit dan memakai tutup kepala.
b.
Khusus jama’ah
wanita : Menutup
muka dan memakai
sarung tangan atau kaos tangan.
c.
Bagi pria dan
wanita
1)
Memotong atau
mencabut kuku
2)
Memotong atau
mencukur rambut, baik rambut di kepala atau di badan lain atau menyisir rambut
yang dikhawatirkan rambutnya akan rontok
3)
Memakai
harum-haruman
4)
Membunuh atau
memburu binatang darat
5)
Mencabut atau
memotong pepohonan yang tumbuh di tanah haram
6)
Menikah,
menjadi wakil nikah atau meminang
Ada beberapa hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan haji dan umrah,
baik dari aspek waktu maupun pelaksanaannya. Di antara hikmah-hikmahnya (Karman,
2001 : 115-116) adalah sebagai berikut :
a.
Dalam pelaksanaan ihram, manusia dilatih untuk dapat
mengendalikan hawa nafsu, khususnya syahwat, perbuatan-perbuatan dosa, dan
hal-hal yang menyenangkan dirinya (hedonis).
b.
Dalam pelaksanaan thawaf, ka’bah merupakan simbol
monoteisme (tauhid). Melakukan thawaf disekeliling ka’bah merupakan simbol
bahwa segala usaha kegiatan hidup manusia didunia ini tidak akan pernah lepas
dari pengawasan dan kekuasaan Allah. Dengan dzikir ketika thawaf yang disertai
penghayatan yang mendalam, diharapkan akan tertanam dalam jiwa orang yang
membacanya kesadaran bahwa manusia itu sangat lemah. Di sini orang akan
menganggap bahwa manusia tidak layak berlaku sombong dan angkuh.
c.
Ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah mengingatkan sejarah
perjuangan Siti Hajar ketika mencari air. Ini mengisyaratkan bahwa orang yang
haji diharapkan memiliki etos kerja tinggi, tidak boleh berpangku tangan,
mengharap rezeki datang dari langit.
d.
Wukuf diarafah bisa disebut sebagai malam perenungan.
Arafah sendiri berarti pengalaman. Maksudnya, orang yang melakukan haji dan
umrah diharapkan dapat mengenal jati dirinya, menyadari segala kesalahannya dan
bertekad untuk tidak mengulanginya.
e.
Melempar jumrah terkait erat dengan kisah ibrahim ketika
melempar setan. Hal ini dimaksudkan agar orang yang melakukan haji dan umrah
memiliki tekad dan semangat untuk tidak terbujuk rayuan setan yang merusak
dunia ini.
f.
Bermalam di mina dan muzdalifah dan diistilahkan malam
istirahat dari rangkaian ibadah haji. Disini orang dapat memulihkan kondisi
yang sangat lelah. Ini sebagai isyarat bahwa manusia memerlukan waktu istirahat
dalam hidup; tidak selamanya bekerja sampai tidak ingat menjaga kondisi
badan.
g.
Dalam tahallul terkadang ajaran agar manusia mampu
mengendalikan sifat pembawaannya. Tahallul diibaratkan sebagai lampu hijau yang
mengisyaratkan kendaraan boleh berjalan kembali setelah untuk sementara
diharuskan berhenti.
h.
Khusus untuk ibadah umrah, ibadah ini memberi kesempatan
yang sangat leluasa kepada kaum muslimin untuk mengunjungi ka’bah karena waktunya
tidak ditentukan.
Diantara hikmah diatas, melaksanakan
haji dan umrah memiliki hikmah yang lain pula, diantaranya yaitu untuk
meningkatan iman dan takwa kepada Allah SWT, meningkatkan sifat sabar dalam
diri, menambahkan jiwa tauhid yang tinggi, membina ukhuwah persatuan dan
kesatuan umat Islam, dll.
Referensi
Al-Habsyi, Muhammad Bagir, 1999. Fiqih Praktis Menurut
Al-Quran, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, 1999. Fiqih Muslimah
Ibadat-Mu’amalat. Jakarta: Pustaka Amani..
Ardani, M.
2008. Fikih Ibadah Praktis. Jakarta:
PT Mitra Cahaya Utama.
Ayyub, Hasan. 1983.
Pedoman menuju haji mabrur. Jakarta:
Wahana PT. Dinamika Karya.
Guru PAI SD
Departemen Agama,
1996. Modul Fikih SD. UT Jakarta: Departemen Agama.
Guru, Tim Bina Karya, 2009. Bina Fikih Kelas V. Jakarta:
Erlangga.
Guru, Tim Bina Karya, 2009. Bina Fikih Kelas VI. Jakarta:
Erlangga.
Haroen, Nasrun, 2007. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Karman, H, 2001. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung
: PT Remaja Rosdakarya.
Munawaroh,
Djunaedatul. 2011. Bahan Ajar PLPG
Pendidikan Agama Islam. Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nurzaman. 2008.
Pendidikan Agama Islam FIQIH Madrasah
Ibtidaiyah kelas V.Semarang : Karya Toha Putra.
Shobur, Abdus.
2009. Pendidikan Agama Islam FIQIH
Madrasah Ibtidaiyah kelas VI.Semarang : Karya Toha Putra.
Ubaidillah, Luthfi dan
Razak, Fajar.2006. Pelajaran FIQIH untuk madrasah Tsanawiyah.Depok :
Arya Duta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar