Sabtu, 28 Juni 2014

Faktor-Faktor Runtuhnya Sistem Pemerintahan Orde Baru Dibawah Pemerintahan Soeharto


Faktor-Faktor  Runtuhnya Sistem Pemerintahan Orde Baru Dibawah Pemerintahan Soeharto
Oleh : Husnul Ma’ab

Pendahuluan
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan presiden Soekarno. Orde baru berlangsung dari tahun 1966 hingga tahun 1998.[1] Perjalanan sejarah Orde Baru yang panjang, Indonesia dapat melaksanakan pembangunan dan mendapat kepercayaan dari dalam maupun luar negeri. Rakyat Indonesia yang menderita sejak tahun 1960- an dapat meningkat kesejahteraannya. Akan tetapi keberhasilan pembangunan pada waktu itu tidak merata karena terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Bahkan Orde Baru ingin mempertahankan kekuasaannya terus menerus dengan berbagai cara. Hal ini menimbulkan berbagai efek negatif.
Berbagai bentuk penyelewengan terhadap nilai- nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 itu disebabkan oleh adanya tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejak pertengahan tahun 1996 situasi politik di Indonesia memanas. Golongan Kaya yang berkeinginan menjadi mayoritas tunggal (Single Majority) mendapat tekanan dari masyarakat. Masyarakat menuntut adanya perubahan di bidang politik, ekonomi, demokratisasi dalam kehidupan sosial serta dihormatinya hak asasi manusia (HAM). Hasil pemilihan umum 1997 yang dimenangkan Golkar dan menguasai DPR dan MPR banyak mengandung unsur nepotisme.[2] Terpilihnya Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden RI banyak mendapat reaksi masyarakat. Sedangkan pembentukan Kabinet Pembangunan VII dianggap berbau Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada saat memanasnya gelombang aksi politik tersebut Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 sebagai pengaruh krisis moneter yang melanda wilayah Asia Tenggara. Harga-harga kebutuhan pokok dan bahan pangan melambung tinggi dan daya beli rakyat rendah. Para pekerja di perusahaan banyak yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga semakin menambah pengangguran. Hal ini ditambah lagi dengan tindakan para konglomerat yang menyalahgunakan posisinya sebagai pelaku pembangunan ekonomi. Mereka menambah hutang tanpa kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Akibatnya perekonomian mengalami krisis, nilai rupiah terhadap dollar merosot tajam
Perbankan kita di Indonesia menjadi bangkrut dan banyak yang dilikuidasi. Pemerintah banyak mengeluarkan uang dana untuk Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) sehingga beban pemerintah sangat berat. Dengan demikian kondisi ekonomi di Indonesia semakin parah. Melihat kondisi bangsa Indonesia yang merosot di berbagai bidang tersebut maka para mahasiswa mempelopori demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah Orde Baru dengan menentang berbagai praktek korupsi, kolusi nepotisme (KKN). Kemarahan rakyat terhadap pemerintah memuncak pada bulan Mei 1998 dengan menuntut diadakannya reformasi atau perubahan di segala bidang baik bidang politik, ekonomi maupun hukum. Gerakan reformasi ini merupakan gerakan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang telah mengendalikan pemerintahan selama 32 tahun. Oleh karena itu rakyat menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di berbagai bidang kehidupan baik bidang politik, ekonomi, hukum maupun sosial budaya.
Pada awal Mei 1998 mahasiswa mempelopori unjuk rasa menuntut dihapuskannya KKN, penurunan harga-harga kebutuhan pokok, dan Soeharto turun dari jabatan Presiden. Ketika para mahasiswa melakukan demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 terjadilah bentrokan dengan aparat kemananan. Dalam peristiwa ini beberapa mahasiswa Trisakti cidera dan bahkan tewas.
Pemerintah Soeharto semakin disorot setelah tragedi TRISAKTI kemudian memicu kerusuhan 13 Mei 1998 sehari selepasnya.[3] Gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan latar belakang hal tersebut, saya mencoba menjelaskan tentang bagaimana faktor penyebab jatuhnya sistem pemerintahaan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, sehingga pimpinan ini mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu.
Pembahasan
A.           Masa Orde Baru
Pada hakikatnya Orde Baru bukan penyangkalan terhadap  yang lama tetapi lebih sebagai pembaharuan yang terkait dengan persoalan bangsa yang dinilai sangat kronis. Penataan yang baru tidak hanya terfokus pada bidang tertantu tetapi mencakup perubahan dan pembaharuan tatanan seluruh kehidupan bangsa dan negara bedasarkan kemurnian pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain, Orde Baru menjadi titik awal koreksi terhadap berbagai penyelewengan pada masa lampau. Orde Baru juga memiliki tugas menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
Pemerintahan Orde Baru menyadari sepenuhnya bahwa akibat konflik yang berkepanjangan, penderitaan rakyat telah mencapai titik yang tertinggi. Oleh karena itu pemerintah Orde Baru menyadari bahwa stabilitas politik adalah hal yang penting untuk ditegakkan demi kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional. Pemerintah Orde Baru menggunakan politik sebagai sarana untuk menciptakan berbagai instrumen politik dengan tujuan menguasai dan mengontrol kelompok yang dikuasai, yaitu rakyat. Hal itu dilakukan tentu tidak lepas dari koridor untuk menciptakan kondisi politik yang mantap sebagai kunci sukses Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan.
B.            Faktor-Faktor Penyebab Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Pada tanggal 20 Januari 1998, presiden Soeharto secara resmi menerima pencalonannya oleh Golkar untuk jabatan kepresidenan.[4] Setelah terpilih dan menjabat sebagai presiden, Soeharto membentuk kabinet barunya dengan menyertakan putrinya Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Kesejahteraan Sosial, dan orang dekatnya Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR tersebut diangkat berdasarkan pada ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998[5] yang disertai dengan tuntutan demokratisasi di segala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha mengatasi kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus bergulir melalui agenda reformasi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto antara lain krisis ekonomi dan moneter. Pemicu dari kejatuhan pemerintahan Orde Baru ini yaitu karena tingginya tingkat KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di dalam pemerintahan, dan membengkaknya angka utang luar negeri. Transisi pemerintahan Indonesia di masa ini dilingkup oleh berbagai gejolak. Berbagai aksi dan demonstrasi mahasiswa marak ditemui di jalan kota besar di Indonesia. Tinggi gejolak keamanan pun turut mewarnai periode ini. Berbagai tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran fasilitas umum pun turut menoreh sejarah kelam Indonesia di tahun sistem pemerintahan Orde Baru ini. Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Orde Baru pun mulai menguak. Hal ini seiring dengan melambung tingginya harga barang-barang akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto bersama Radius Prawiro menyatakan bahwa utang luar negeri di Indonesia mencapai 63.262 miliar dollar Amerika Serikat.[6] Angka ini baru yang dibebankan bagi negara, jumlah utang luar negeri sektor swasta Indonesia pun mencapai miliaran dollar Amerika Serikat. Efek domino dari kondisi kejatuhan ekonomi langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Tingginya harga barang dan inflasi pun tak terelakan. Rakyat menjadi cukup sulit memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan, rakyat harus mengantri untuk mendapatkan sembako dengan harga murah, karena harga standar yang dijual di pasar sudah tak terjangkau lagi oleh daya beli masyarakat.
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai semenjak penandatanganan Soeharto mengenai perjanjian pemberian dana bantuan IMF pada Medio 1997.[7] Pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung kelemahan utama bagi Indonesia, dan hal ini disadari betul oleh rakyat pada saat itu. Masyarakat beserta mahasiswa melihat bahwa hal ini akan berdampak pada makin menumpuknya utang Indonesia kepada luar negeri. IMF tidak hanya memberi bantuan dana semata, akan tetapi IMF memberikan bantuan dengan persyaratan tajam kepada Indonesia yang menyangkut dalam 4 bidang utama, yaitu pengetatan kebijakan fisikal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di Indonesia, dan memerintahkan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga. Hal ini harusnya dipikirkan mendalam oleh pemerintah sebelum mensepakati perjanjian bantuan dana tersebut. Alhasil, dampaknya tidak terwujud dalam perbaikan ekonomi nasional yang signifikan, melainkan makin berdampak buruk bagi masyarakat Indonesia yakni melambungnya jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat yang dari 20 juta orang sampai ke angka 80 juta orang. Jutaan orang juga kehilangan pekerjaan akibat penutupan bank-bank nasional dan sektor usaha karena tidak mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Krisis ekonomi pun makin bertambah parah.
Melihat kondisi kehidupan sosial seperti ini, banyak pihak yang menginginkan perubahan. Mahasiswa merupakan salah satu kelompok sosial masyarakat yang paling vokal dalam menyuarakan perbaikan struktur pemerintahan pada saat itu. Mahasiswa pun mulai menyusun strategi untuk memberikan feedback atau umpan balik terhadap kelemahan sistem pemerintahan. Berbagai aksi pun digelar. Mahasiswa kemudian menyusun agenda reformasi yang ditujukan kepada pemerintahan Orde Baru.
Berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat mulai bermunculan sejak februari 1998 dan mencapai puncaknya bulan Mei. Di Universitas Trisakti, aksi demonstrasi damai pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Akan tetapi, aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat mahasiswa Trisakti oleh aparat keamanan, yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan[8] dan puluhan lainnya mengalami luka-luka serius. Dari kejadian tersebut mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di berbagai daerah. Pada tanggal 13 dan 14 mei 1998, kerusuhan massal dari mahasiswa dan masyarakat lain mulai mengarah ke tindakan anarkis, yakni berupa penjarahan dan penganiayaan menjalar luar di seluruh ibukota. Toko-toko dibakar, barang-barang yang di dalamnya dijarah oleh para oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi kasus penganiayaan. Korban pun banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai ratusan. Tragedi kerusuhan ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia.
Suasana Jakarta saat itu pasca tragedi kerusuhan ini terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa pada tanggal 19 mei 1998.[9] Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi melakukan long march menuju gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto.
Pada tanggal yang sama, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang.[10] Didalam pertemuan ini, Soeharto meminta pendapat apakah ia memang harus turun jabatannya sebagai presiden. Pertemuan ini berlangsung hingga 2,5 jam dan tercapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya bernama Dewan Reformasi. Namun, kemudian di ubah karena hampir mirip dengan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal sewaktu terjadi peristiwa tragedi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Akan tetapi, dalam perkembangannya Kabinet Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Salah satu penyebab mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yang telihat dari pernyataan politik Kosgoro yang meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar, Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua MPR/DPR Republik Indonesia meminta Soeharto untuk mundur.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan kemudian mengucapkan terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat. Soekarno menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.

Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan jatuhnya pemerintah Orde Baru adalah:
1.      Krisis ekonomi dan moneter yang menyebabkan rapuhnya fondasi Indonesia dan banyaknya praktik KKN dan monopoli ekonomi, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
2.      Krisis politik demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya.
3.      Krisis kepercayaan, kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto berkurang setelah Indonesia dilanda krisis multidimensi.
4.      Krisis sosial, gejolak politik yang tinggi yang menimbulkan berbagai potensi perpecahan sosial di masyarakat.
5.      Penjarahan yang dilakukan massa yaitu memperkosa warga keturunan Cina.
6.      Krisis hukum, pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat karena sering terjadinya rekayasa dalam proses peradilan oleh para penguasa dan penjabat-penjabat negara.
Adapun saran yang dapat di sampaikan dalam makalah tersebut adalah :
1.      Pemerintah di harapakan dapat mengawasi jalannya pemerintahan agar peristiwa masa Orde Baru tidak terulang lagi.
2.      Sebagai seorang pemimpin, janganlah mementingkan diri sendiri tetapi cobalah berpikir untuk mengambil gagasan yang bisa merubah khalayak ramai untuk maju dan sejahtera. Karena maju mundurnya suatu negara tergantung bagaimana pemimpinnya.
3.      Pemerintah harus mengawas ketat pejabat yang melanggar hukum, contohnya yang melakukan korupsi harus disidang secepat mungkin dan di vonis hukuman yang berat.
Daftar pustaka
Ardi. Kronologis jatuhnya pemerintahan orde baru. (diakses pada tanggal 31 Mei 2014, pukul 11.30), file:///C:/Users/user/Documents/Sejarah%20Individu/ootd%20new.
Aritonang, Diro. 1999. Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Handikoemoro, Soekisno. Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Jakarta: Balai Pustaka
Mustopo Habib, dkk. 2007. Sejarah. Jakarta: Yudistira.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka.
Ricklefs. M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Siwi Ismawati Nur, Sri Widiastuti. 2012. Sejarah. Jawa Tengah: VIVAPAKARINDO



[1] Mustopo Habib, dkk. Sejarah. Jakarta: Yudistira. 2007, hal 32
[2] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. 2010, hal 667.

[3] Aritonang, Diro. Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto. Jakarta: Pustaka Hidayah. 1999, hal 23.

[4]Dalam sidang umum MPR tanggal 11 Maret 1998 tersebut Soeharto terpilih secara aklamasi sebagai presiden untuk jabatan lima tahun yang ketujuh kalinya dan memilih B.J. Habibie sebagai wakilnya. Ibid, hal 665.

[5] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. 2010, hal 664.
[6] Wal Ardi. Kronologis jatuhnya pemerintahan orde baru. (diakses pada tanggal 31 Mei 2014, pukul 11.30),  file:///C:/Users/user/Documents/Sejarah%20Individu/ootd%20new.htm
[7] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. 2010, hal 664. Di dalam perjanjian pertama ini, IMF menurunkan dana sebesar 43 miliar dolar Amerika Serikat kepada Indonesia.
[8] Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti lainnya baru memasuki kampusnya setelah menggelar aksi keprihatinan. Soekisno Handikoemoro, Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, hlm. 101. Dari kematian empat mahasiswa Trisakti tersebut mmicu berbagai gerakan pro-reformasi untuk menyatukan langkah dan mendesak presiden soeharto untuk mengundurkan diri.
[9] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. 2010, hal 669.
[10] Mereka adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie,Malik Fadjar, Cholil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir pula Yuhsril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan Presiden. Ricklefs. M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. 2007, hal 653.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar