Faktor-Faktor Runtuhnya Sistem Pemerintahan Orde Baru Dibawah
Pemerintahan Soeharto
Oleh : Husnul Ma’ab
Pendahuluan
Orde Baru
adalah sebutan bagi masa pemerintahan presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan presiden Soekarno. Orde baru berlangsung dari tahun 1966 hingga
tahun 1998.[1]
Perjalanan sejarah Orde Baru yang panjang, Indonesia dapat melaksanakan pembangunan
dan mendapat kepercayaan dari dalam maupun luar negeri. Rakyat Indonesia yang
menderita sejak tahun 1960- an dapat meningkat kesejahteraannya. Akan tetapi
keberhasilan pembangunan pada waktu itu tidak merata karena terjadi kesenjangan
sosial ekonomi yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Bahkan Orde Baru
ingin mempertahankan kekuasaannya terus menerus dengan berbagai cara. Hal ini
menimbulkan berbagai efek negatif.
Berbagai bentuk penyelewengan terhadap nilai-
nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 itu disebabkan oleh adanya tindak
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejak pertengahan tahun 1996 situasi
politik di Indonesia memanas. Golongan Kaya yang berkeinginan menjadi mayoritas
tunggal (Single Majority) mendapat tekanan dari masyarakat. Masyarakat
menuntut adanya perubahan di bidang politik, ekonomi, demokratisasi dalam
kehidupan sosial serta dihormatinya hak asasi manusia (HAM). Hasil pemilihan
umum 1997
yang dimenangkan Golkar dan menguasai DPR dan MPR banyak mengandung unsur
nepotisme.[2]
Terpilihnya Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden RI banyak mendapat
reaksi masyarakat. Sedangkan pembentukan Kabinet Pembangunan VII dianggap
berbau Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada saat memanasnya gelombang aksi politik
tersebut Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 sebagai
pengaruh krisis moneter yang melanda wilayah Asia Tenggara. Harga-harga kebutuhan
pokok dan bahan pangan melambung
tinggi dan daya beli rakyat rendah. Para pekerja di perusahaan banyak yang
terkena pemutusan
hubungan kerja (PHK) sehingga semakin menambah pengangguran.
Hal ini ditambah lagi
dengan tindakan para konglomerat yang menyalahgunakan posisinya sebagai pelaku
pembangunan ekonomi. Mereka menambah hutang tanpa kontrol dari pemerintah dan
masyarakat. Akibatnya perekonomian mengalami krisis, nilai rupiah terhadap
dollar merosot tajam
Perbankan kita di Indonesia menjadi bangkrut dan banyak yang dilikuidasi.
Pemerintah banyak mengeluarkan uang dana untuk Kredit Likuidasi Bank Indonesia
(KLBI) sehingga beban pemerintah sangat berat. Dengan demikian kondisi ekonomi
di Indonesia semakin parah. Melihat kondisi bangsa Indonesia yang merosot di
berbagai bidang tersebut maka para mahasiswa mempelopori demonstrasi memprotes
kebijakan pemerintah Orde Baru dengan menentang berbagai praktek korupsi,
kolusi nepotisme (KKN). Kemarahan rakyat terhadap pemerintah memuncak pada
bulan Mei 1998 dengan menuntut diadakannya reformasi atau perubahan di segala
bidang baik bidang politik, ekonomi maupun hukum. Gerakan reformasi ini
merupakan gerakan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang telah mengendalikan
pemerintahan selama 32 tahun. Oleh karena itu rakyat menghendaki perubahan ke
arah yang lebih baik di berbagai bidang kehidupan baik bidang politik, ekonomi,
hukum maupun sosial budaya.
Pada awal Mei 1998 mahasiswa mempelopori unjuk
rasa menuntut dihapuskannya KKN, penurunan harga-harga kebutuhan pokok, dan
Soeharto turun dari jabatan Presiden. Ketika para mahasiswa melakukan
demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 terjadilah bentrokan dengan aparat
kemananan. Dalam peristiwa ini beberapa mahasiswa Trisakti cidera dan bahkan
tewas.
Pemerintah Soeharto semakin disorot setelah
tragedi TRISAKTI kemudian memicu kerusuhan 13 Mei 1998 sehari selepasnya.[3]
Gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Dibawah tekanan yang
besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk
mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan latar belakang hal tersebut, saya mencoba menjelaskan
tentang bagaimana faktor penyebab jatuhnya sistem pemerintahaan Orde Baru
dibawah pimpinan Soeharto, sehingga pimpinan ini mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai pemimpin sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu.
Pembahasan
A.
Masa Orde Baru
Pada hakikatnya Orde Baru bukan penyangkalan
terhadap yang lama tetapi lebih sebagai pembaharuan yang terkait dengan
persoalan bangsa yang dinilai sangat kronis. Penataan yang baru tidak hanya
terfokus pada bidang tertantu tetapi mencakup perubahan dan pembaharuan tatanan
seluruh kehidupan bangsa dan negara bedasarkan kemurnian pancasila dan UUD
1945. Dengan kata lain, Orde Baru menjadi titik awal koreksi terhadap berbagai
penyelewengan pada masa lampau. Orde Baru juga memiliki tugas menyusun kembali
kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
Pemerintahan
Orde Baru menyadari sepenuhnya bahwa akibat konflik
yang berkepanjangan, penderitaan rakyat telah mencapai titik yang tertinggi.
Oleh karena itu pemerintah Orde Baru menyadari bahwa stabilitas politik adalah
hal yang penting untuk ditegakkan demi kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional. Pemerintah Orde Baru
menggunakan politik sebagai sarana untuk menciptakan berbagai instrumen politik
dengan tujuan menguasai dan mengontrol kelompok yang dikuasai, yaitu rakyat.
Hal itu dilakukan tentu tidak lepas dari koridor untuk menciptakan kondisi
politik yang mantap sebagai kunci sukses Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan.
B.
Faktor-Faktor Penyebab Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Pada tanggal 20 Januari 1998, presiden Soeharto secara
resmi menerima pencalonannya oleh Golkar untuk jabatan kepresidenan.[4] Setelah
terpilih dan menjabat sebagai presiden, Soeharto membentuk kabinet barunya
dengan menyertakan putrinya Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri
Kesejahteraan Sosial, dan orang dekatnya Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan
dan Perindustrian.
Pada dasarnya secara de jure (secara hukum)
kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat,
tetapi ternyata secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah
diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR tersebut diangkat
berdasarkan pada ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tanggal 21
Mei 1998[5] yang disertai dengan tuntutan demokratisasi di
segala bidang serta tuntutan untuk menindak tegas para pelaku pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) telah
menjadi perubahan di Indonesia berlangsung dengan akselarasi yang sangat cepat
dan dinamis. Situasi ini menuntut bangsa Indonesia untuk berusaha mengatasi
kemelut sejarahnya dalam arus utama perubahan besar yang terus bergulir melalui
agenda reformasi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Orde Baru
dibawah kepemimpinan Soeharto antara lain krisis ekonomi
dan moneter. Pemicu dari kejatuhan
pemerintahan Orde Baru ini yaitu karena tingginya tingkat KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme) di dalam pemerintahan, dan membengkaknya angka utang luar
negeri. Transisi pemerintahan Indonesia di masa ini dilingkup oleh berbagai
gejolak. Berbagai aksi dan demonstrasi mahasiswa marak ditemui di jalan kota
besar di Indonesia. Tinggi gejolak keamanan pun turut mewarnai periode ini. Berbagai
tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran fasilitas umum pun turut
menoreh sejarah kelam Indonesia di tahun sistem pemerintahan Orde Baru ini.
Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Orde Baru pun mulai menguak. Hal ini
seiring dengan melambung tingginya harga barang-barang akibat merosotnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto
bersama Radius Prawiro menyatakan bahwa utang luar negeri di Indonesia mencapai
63.262 miliar dollar Amerika Serikat.[6] Angka ini baru yang
dibebankan bagi negara, jumlah utang luar negeri sektor swasta Indonesia pun
mencapai miliaran dollar Amerika Serikat. Efek domino dari kondisi kejatuhan
ekonomi langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Tingginya harga barang
dan inflasi pun tak terelakan. Rakyat menjadi cukup sulit memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Bahkan, rakyat harus mengantri untuk mendapatkan sembako dengan
harga murah, karena harga standar yang dijual di pasar sudah tak terjangkau
lagi oleh daya beli masyarakat.
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai
semenjak penandatanganan Soeharto mengenai perjanjian pemberian dana bantuan
IMF pada Medio 1997.[7] Pemberian dana bantuan
ini sebenarnya mengandung kelemahan utama bagi Indonesia, dan hal ini disadari
betul oleh rakyat pada saat itu. Masyarakat beserta mahasiswa melihat bahwa hal
ini akan berdampak pada makin menumpuknya utang Indonesia kepada luar negeri.
IMF tidak hanya memberi bantuan dana semata, akan tetapi IMF memberikan bantuan
dengan persyaratan tajam kepada Indonesia yang menyangkut dalam 4 bidang utama,
yaitu pengetatan kebijakan fisikal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di
Indonesia, dan memerintahkan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga. Hal
ini harusnya dipikirkan mendalam oleh pemerintah sebelum mensepakati perjanjian
bantuan dana tersebut. Alhasil, dampaknya tidak terwujud dalam perbaikan ekonomi
nasional yang signifikan, melainkan makin berdampak buruk bagi masyarakat
Indonesia yakni melambungnya jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah
garis kemiskinan meningkat yang dari 20 juta orang sampai ke angka 80 juta
orang. Jutaan orang juga kehilangan pekerjaan akibat penutupan bank-bank
nasional dan sektor usaha karena tidak mendapatkan suntikan dana dari
pemerintah. Krisis ekonomi pun makin bertambah parah.
Melihat kondisi kehidupan sosial seperti ini, banyak
pihak yang menginginkan perubahan. Mahasiswa merupakan salah satu kelompok
sosial masyarakat yang paling vokal dalam menyuarakan perbaikan struktur
pemerintahan pada saat itu. Mahasiswa pun mulai menyusun strategi untuk
memberikan feedback atau umpan balik terhadap kelemahan sistem
pemerintahan. Berbagai aksi pun digelar. Mahasiswa kemudian menyusun agenda reformasi
yang ditujukan kepada pemerintahan Orde Baru.
Berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen
masyarakat mulai bermunculan sejak februari 1998 dan mencapai puncaknya bulan
Mei. Di Universitas Trisakti, aksi demonstrasi damai pun terjadi. Situasi aksi
damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Akan tetapi, aksi mahasiswa
yang semula damai berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat
mahasiswa Trisakti oleh aparat keamanan, yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri
Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan[8] dan puluhan lainnya
mengalami luka-luka serius. Dari kejadian tersebut mengundang berbagai reaksi
keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di berbagai daerah. Pada tanggal 13
dan 14 mei 1998, kerusuhan massal dari mahasiswa dan masyarakat lain mulai
mengarah ke tindakan anarkis, yakni berupa penjarahan dan penganiayaan menjalar
luar di seluruh ibukota. Toko-toko dibakar, barang-barang yang di dalamnya
dijarah oleh para oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi kasus penganiayaan.
Korban pun banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai ratusan. Tragedi
kerusuhan ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis
ekonomi Indonesia.
Suasana Jakarta saat itu pasca tragedi kerusuhan ini
terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para
mahasiswa pada tanggal 19 mei 1998.[9] Secara berbondong-bondong
para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi melakukan long march
menuju gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden
Soeharto.
Pada tanggal yang sama, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh
masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan
krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang.[10] Didalam pertemuan ini, Soeharto meminta pendapat
apakah ia memang harus turun jabatannya sebagai presiden. Pertemuan ini berlangsung hingga 2,5 jam dan tercapai kesepakatan
untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya bernama Dewan Reformasi. Namun,
kemudian di ubah karena hampir mirip dengan
Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal sewaktu
terjadi peristiwa tragedi pemberontakan G-30-S/PKI
tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan
VI, dan mengubah nama susunan kabinet Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU
Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Akan tetapi, dalam
perkembangannya Kabinet
Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan
dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya. Salah
satu penyebab mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yang telihat dari pernyataan politik Kosgoro yang
meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 Mei 1998 tersebut
diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar, Harmoko yang pada saat itu juga
menjabat sebagai ketua MPR/DPR Republik Indonesia meminta Soeharto untuk
mundur.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan kemudian mengucapkan
terimakasih serta mohon maaf kepada seluruh rakyat. Soekarno menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa
ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan
dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
jatuhnya pemerintah Orde Baru adalah:
1. Krisis
ekonomi dan moneter yang menyebabkan rapuhnya fondasi Indonesia dan banyaknya
praktik KKN dan monopoli ekonomi, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
AS.
2.
Krisis
politik demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya.
3.
Krisis
kepercayaan, kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto
berkurang setelah Indonesia dilanda krisis multidimensi.
4.
Krisis
sosial,
gejolak politik yang tinggi yang menimbulkan berbagai potensi perpecahan sosial di masyarakat.
5.
Penjarahan
yang dilakukan massa yaitu memperkosa warga keturunan Cina.
6.
Krisis
hukum, pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat karena
sering terjadinya rekayasa dalam proses peradilan oleh para penguasa dan penjabat-penjabat negara.
Adapun
saran yang dapat di sampaikan dalam makalah tersebut adalah :
1. Pemerintah
di harapakan dapat mengawasi jalannya pemerintahan agar peristiwa masa Orde Baru
tidak terulang lagi.
2.
Sebagai seorang pemimpin,
janganlah mementingkan diri sendiri tetapi cobalah berpikir untuk mengambil
gagasan yang bisa merubah khalayak ramai untuk maju dan sejahtera. Karena maju
mundurnya suatu negara tergantung bagaimana pemimpinnya.
3.
Pemerintah
harus mengawas ketat pejabat yang melanggar hukum, contohnya yang melakukan
korupsi harus disidang secepat mungkin dan di vonis hukuman yang berat.
Daftar pustaka
Ardi. Kronologis jatuhnya
pemerintahan orde baru. (diakses pada tanggal 31 Mei 2014, pukul 11.30), file:///C:/Users/user/Documents/Sejarah%20Individu/ootd%20new.
Aritonang, Diro. 1999. Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Handikoemoro, Soekisno. Tragedi Trisakti 12 Mei 1998.
Jakarta: Balai Pustaka
Mustopo Habib, dkk. 2007. Sejarah.
Jakarta: Yudistira.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2010. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka.
Ricklefs. M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004. Jakarta: Serambi.
Siwi Ismawati Nur, Sri Widiastuti. 2012. Sejarah. Jawa
Tengah: VIVAPAKARINDO
[1]
Mustopo Habib, dkk. Sejarah. Jakarta: Yudistira. 2007, hal 32
[2] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. 2010, hal 667.
[4]Dalam sidang umum MPR tanggal 11 Maret 1998 tersebut
Soeharto terpilih secara aklamasi sebagai presiden untuk jabatan lima tahun
yang ketujuh kalinya dan memilih B.J. Habibie sebagai wakilnya. Ibid, hal 665.
[5] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. 2010, hal 664.
[6] Wal Ardi. Kronologis jatuhnya
pemerintahan orde baru. (diakses pada tanggal 31 Mei 2014, pukul 11.30), file:///C:/Users/user/Documents/Sejarah%20Individu/ootd%20new.htm
[7] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. 2010, hal 664. Di dalam
perjanjian pertama ini, IMF menurunkan dana sebesar 43 miliar dolar Amerika
Serikat kepada Indonesia.
[8] Mereka
tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti lainnya baru memasuki kampusnya
setelah menggelar aksi keprihatinan. Soekisno Handikoemoro, Tragedi Trisakti
12 Mei 1998, hlm. 101. Dari kematian empat mahasiswa Trisakti tersebut
mmicu berbagai gerakan pro-reformasi untuk menyatukan langkah dan mendesak
presiden soeharto untuk mengundurkan diri.
[9] Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. 2010, hal 669.
[10] Mereka adalah Nurcholis
Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie,Malik Fadjar, Cholil
Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir pula Yuhsril Ihza Mahendra,
Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan Presiden.
Ricklefs. M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
2007, hal 653.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar